SEJARAH HADITS PRAKODIFIKASI: HADITS PADA MASA RASUL, SAHABAT DAN TABI’IN
Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah: Pengantar Ilmu Hadits
Dosen : Ira Iryanti, S.Pd.,M.Pd.I
Disusun Oleh:
Siti Yulianti (12518.6303)
Ahmad Saepudin (12513.6365)
Jurusan : PAI (Pendidikan Agama Islam)
STAI (SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM)
LPPM (LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN MASYARAKAT) STAI SABILI BANDUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Puji dan syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT. Yang telah memberikan rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas karya ilmiah ini pada mata kuliah Pengantar Ilmu Hadis dengan baik dan lancar.
Kami ucapkan terima kasih kepada kedua orangtua kami yang selalu mendukung dan memotivasi kami dalam pembuatan karya ilmiah ini sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik tanpa banyak halangan. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman kami yang telah membantu demi terbentuknya makalah ini.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kritik dan saran sangat kami harapkan demi sempurnanya karya ilmiah kami selanjutnya. Dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan generasi kita selanjutnya. Aamiin.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Cipeundeuy, Januari 2021
Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar...................................................................................................... i
Daftar Isi............................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................... 1
A. Latar Belakang.......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah..................................................................................... 2
C. Tujuan........................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN..................................................................................... 3
A. Sejarah Hadis Prakodifikasi...................................................................... 3
B. Hadits pada Masa Rasulullah SAW.......................................................... 3
C. Hadits pada Masa Sahabat........................................................................ 6
D. Hadits pada Masa Tabi’in......................................................................... 12
BAB III PENUTUP............................................................................................. 15
A. Kesimpulan................................................................................................ 15
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejarah perkembangan hadits merupakan masa atau masa yang telah dilalui oleh hadits dari masa lainnya dan tumbuh dalam pengenalan, penghayatan, dan pengamalan umat dari generasi ke generasi. Dengan memerhatikan masa yang telah dilalui hadits sejak masa lahirnya di masa Rasulullah SAW meneliti dan membina hadits serta segala hal yang memengaruhi hadits tersebut.[1]
Di samping sebagai utusan Allah SWT, Rasulullah SAW adalah panutan dan tokoh masyarakat. Beliau sadar sepenuhnya bahwa agama yang dibawanya harus disampaikan dan terwujud secara konkrit dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, setia kali ada kesempatan Rasulullah SAW memanfaatkannya berdialog dengan para sahabat. Hadits Rasulullah SAW yang sudah diterima oleh para sahabat, ada yang dihafal ada juga yang dicatat. Dengan demikian, ada beberapa masa dalam sejarah perkembangan hadits, dari masa Rasulullah SAW sampai sekarang.
Oleh karena itu, dalam pembahasan makalah ini, kami akan membahas materi dengan judul “Sejarah Hadits Prakodifikasi: Hadits pada Masa Rasul, Sahabat dan Tabi’in”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis akan merumuskan masala-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Rasulullah SAW?
2. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Sahabat?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Hadits pada Masa Tabi’in?
C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, dapat diketahui tujuannya sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Rasulullah SAW
2. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Sahabat
3. Untuk mengetahui sejarah perkembangan hadits pada masa Tabi’in
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sejarah Hadits Prakodifikasi
Sejarah perkembangan hadits pada masa prakodifikasi maksudnya adalah pada masa sebelum pembukuan[2] mulai sejak zaman Rasullah SAW hingga ditetapkannya pembukuan hadits secara resmi (kodifikasi). Pada masa prakodifikasi ada tiga masa yaitu masa Rasulullah SAW, sahabat dan Tabi’in.
1. Hadits pada masa Rasulullah SAW
Hadits pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.[3] Keadaan ini sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat sebagai pewaris pertama ajaran Islam. Wahyu yang diturunkan Allah SWT kepadanya dijelaskannya melalui perkataan, perbuatan, dan taqrirnya. Sehingga apa yang didengar, dilihat, dan disaksikan oleh para sahabat merupakan pedoman bagi amaliah dan ubudiah mereka.[4]
a. Larangan menulis hadits pada masa Rasulullah SAW
Pada masa Rasulullah SAW sedikit sekali sahabat yang bisa menulis sehingga yang menjadi andalan mereka dalam menerima hadits adalah dengan menghafal. Menurut Abd Al-Nashr, Allah telah memberikan keistimewaan kepada para sahabat kekuatan daya ingat dan kemampuan menghafal. Mereka dapat meriwayatkan Al-Qur’an, hadits, dan syair dengan baik. Seakan mereka membaca dari sebuah buku.[5]
Rasulullah menjadi pusat naraumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi masalah, baik secara langsung atau tidak langsung seperti melalui istri-istri Rasulullah dalam masalah keluarga dan kewanitaan, karena mereka adalah orang-orang yang paling mengetahui keadaan Rasulullah dalam masalah keluarga.
Hadits pada waktu itu pada umumnya hanya diingat dan dihafal oleh para sahabat dan tidak ditulis, karena situasi dan kondisi tidak memungkinkan.[6] Dan memang Nabi melarang bagi umum karena khawatir bercampur antara hadits dan Al-Qur’an. Banyak hadits yang melarang para sahabat untuk menulis hadits, diantara hadits yang melarang penulisan hadits adalah:
عَنْ اَبِيْ سَعِيْدُ الْخُدْرِي اَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا تَكْتُبُوْا عَنِّي وَمَنْ كَتَبَ عَنِّيي غَيْرَ الْقُرْانِ فَلْيَمْحُهُ. رواهُ مسلمٌ
“Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri bahwa Rasulullah SAW bersabda: janganlah engkau menulis (hadits) dariku, barang siapa menulis dariku selain dari Al-Qur’an maka hapuslah. (HR. Muslim)”
b. Diperbolehkannya Menulis Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Larangan menulis hadits tidaklah umum kepada semua sahabat, ada sahabat tertentu yang diberikan izin untuk menulis hadits. Nabi melarang menulis hadits karena khawatir tercampur dengan Al-Qur’an dan pada kesempatan lain nabi memperbolehkannya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Umar, dia berkata: “Aku permah menulis segala sesuatu yang ku dengar dari Raulullah, aku ingin menjaga dan menghafalkannya. Tetapi orang Quraisy melarangku melakukannya.” Mereka berkata: “Kamu hendak menulis (hadits) padahal Rasulullah bersabda dalam keadaan marah dan senang”. Kemudian aku menahan diri (Untuk tidak menulis hadits) hingga aku ceritakan kejadian itu kepada Rasulullah. Beliau bersabda:[7]
اُكْتُبْ فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ مَا خَرَجَ عَنِّي اِلَّا حَقٌّ
“Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran”.
Adanya larangan tersebut berakibat banyak hadits yang tidak ditulis dan seandainya Nabi tidak pernah melarang pun tidak mungkin hadits dapat ditulis. Karena menurut M Suyudi Ismail hal ini disebabkan oleh beberapa alasan berikut:
1) Hadits disampaikan tidaklah selalu di hadapan sahabat yang pandai menulis
2) Perhatian Nabi dan para sahabat lebih banyak tercurah pada Al-Qur’an
3) Sangat sulit seluruh pernyataan, perbuatan, ketetapan, dan hal-hal orang yang masih hidup dapat langsung dicatat oleh orang lain apalagi dengan alat sederhana.
c. Tanggapan Terhadap Larangan Pencatatan Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Menghadapi dua hadits yang tampak bertentangan di atas, ada beberapa pendapat berkenaan dengan ini, yaitu:
1) Larangan menulis hadits terjadi pada periode permulaan, sedangkan izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan.
2) Larangan penulisan hadits itu ditujukan bagi orang yang kuat hafalannya dan tidak dapat menulis dengan baik, serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. Izin menulis hadits diberikan kepada orang yang pandai menulis dan tidak dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an.
3) Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis dikhawatirkan tulisannya keliru, sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadits.
4) Larangan hadits dicabut oleh izin menulis hadits karena tidak dikhawatirkan tercampurnya catatan hadits dengan Al-Qur’an.
5) Larangan itu bersifat umum, sedangkan izin menulis hadits bersifat khusus kepada para sahabat yang dijamin tidak akan mencampurkan catatan hadits dan catatan Al-Qur’an.
6) Larangan ditujukan untuk kodifikasi formal sedangkan izin ditujukan untuk sekedar dalam bentuk catatan yang dipakai sendiri.
7) Larangan berlaku ketika wahyu masih turun, belum dihafal dan dicatat. Adapun ketika wahyu yang turun sudah dihafal dan dicatat, maka penulian hadits diizinkan.[8]
2. Hadits Pada Masa Sahabat
Nabi wafat pada tahun 11 H, kepada umatnya beliau meninggalkan dua pegangan sebagai dasar pedoman hidupnya, yaitu al-Qur’an dan Hadits yang harus dipegang untuk mengatur seluruh aspek kehidupan umat. Setelah Nabi SAW wafat, kendali kepemimpinan umat Islam berada di tangan sahabat Nabi. Sahabat Nabi yang pertama menerima kepemimpinan adalah Abu Bakar as- Shiddiq (wafat 13 H/634 M) kemudian disusul oleh Umar bin Khatthab (wafat 23 H/644 M), Utsman bin Affan (wafat 35 H/656 M), dan Ali bin Abi Thalib (wafat 40 H/661 M). Keempat khalifah ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan al-khulafa al-Rasyidin dan periodenya biasa disebut juga dengan zaman sahabat besar.
Para sahabat mengetahui kedudukan As-Sunnah sebagai sumber syari’ah pertama setelah Al-Qur’an Al-karim. Mereka berhati-hati dalam meriwayatkan hadits dari Nabi SAW karena khawatir berbuat kesalahan dan takut as-Sunnah yang suci itu ternodai oleh kedustaan atau pengubahan. Oleh karena itu mereka menempuh segala cara untuk memelihara hadits, mereka lebih memilih bersikap “sedang dalam meriwayatkan hadits” dari Rasulullah., bahkan sebagian dari mereka lebih memilih bersikap “sedikit dalam meriwayatkan hadits”. Periode sahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat. Dalam prakteknya, cara sahabat meriwayatkan hadits ada dua, yakni: [a] Dengan lafazh asli, yakni menurut lafazh yang mereka terima dari Nabi SAW yang mereka hafal benar lafazhnya dari Nabi SAW. [b] Dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan dengan lafazhnya karena tidak hafal lafazh asli dari Nabi SAW.
a. Abu Bakar As-Shidiq
Menurut Muhammad bin Ahmad al-Dzahabiy (wafat 748 H/1347 M), Abu Bakar merupakan sahabat Nabi yang pertama menunjukkan kehati-hatiannya dalam meriwayatkan hadits. Pernyataan al-Dzahabiy ini didasarkan atas pengalaman Abu Bakar tatkala menghadapi kasus waris untuk seorang nenek. Suatu ketika, ada seorang nenek menghadap kepada Khalifah Abu Bakar, meminta hak waris dari harta yang ditinggalkan cucunya. Abu Bakar menjawab, bahwa ia tidak melihat petunjuk al-Qur’an dan prektek Nabi yang memberikan bagian harta waris kepada nenek. Abu Bakar lalu bertanya kepada para sahabat. Al-Mughirah bin Syu’bah menyatakan kepada Abu Bakar, bahwa Nabi telah memberikan bagian harta warisan kepada nenek sebesar seperenam bagian. Al-Mughirah mengaku hadir tatkala Nabi menetapkan kewarisan nenek itu. Mendengar pernyatan tersebut, Abu Bakar meminta agar al-Mughirah menghadirkan seorang saksi. Lalu Muhammad bin Maslamah memberikan kesaksian atas kebenaran pernyataan al-Mughirah itu. Akhirnya Abu Bakar menetapkan kewarisan nenek dengan memberikan seperenam bagian berdasarkan hadits Nabi SAW yang disampaikan oleh al-Mughirah tersebut.[9]
Data sejarah tentang kegiatan periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada masa pemerintahan Abu Bakar tersebut, umat Islam dihadapkan pada berbagai ancaman dan kekacauan yang membahayakan pemerintah dan Negara. Berbagai ancaman dan kekacauan itu berhasil diatasi oleh pasukan pemerintah. Dalam saat itu tidak sedikit sahabat Nabi, khususnya yang hafal Qur’an, telah gugur di berbagai peperangan. Atas desakan Umar bin al-Khatthab, Abu Bakar segara melakukan penghimpunan al-Qur’an (jam’ al-Qur’an).
Jadi disimpulkan, bahwa periwayatan hadits pada masa Khalifah Abu Bakar dapat dikatakan belum merupakan kegiatan yang menonjol di kalangan umat Islam. Walaupun demikian dapat dikemukakan, bahwa sikap umat Islam dalam periwayatan hadits tampak tidak jauh berbeda dengan sikap Abu Bakar, yakni sangat berhati-hati. Sikap hati-hati ini antara lain terlihat pada pemerikasaan hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat.
b. Umar bin al-Khatthab
Umar dikenal sangat hati-hati dalam periwayatan hadits. Hal ini terlihat, misalnya, ketika umar mendengar hadits yang disampaikan oleh Ubay bin Ka’ab. Umar barulah bersedia menerima riwayat hadits dari Ubay, setelah para sahabat yang lain, diantaranya Abu Dzarr menyatakan telah mendengar pula hadits Nabi tentang apa yang dikemukakan oleh Ubay tersebut. Akhirnya Umar berkata kepada Ubay: “Demi Allah, sungguh saya tidak menuduhmu telah berdusta. Saya berlaku demikian, karena saya ingin berhati-hati dalam periwayatan hadits ini.”
Apa yang dialami oleh Ubay bin Ka’ab tersebut telah dialami juga oleh Abu Musa al-As’ariy, al-Mughirah bin Syu’bah, dan lain-lain. Kesemua itu menunjukkan kehati-hatian Umar dalam periwaytan hadits. Disamping itu, Umar juga menekankan kepada para sahabat agar tidak memperbanyak periwayatan hadits di masyarakat. Alasannya, agar masyarakat tidak terganggu konsentrasinya untuk membaca dan mendalami al-Qur’an. Kebijakan Umar melarang para sahabat Nabi memperbanyak periwayatan hadits, sesungguhnya tidaklah bahwa Umar sama sekali melarang para sahabat meriwayatkan hadits. Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, [b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu. Hal ini diperkuat oleh bukti-bukti berikut ini:[10]
1) Umar pada suatu ketika pernah menyuruh umat islam untuk mempelajari hadits Nabi dari para ahlinya, karena mereka lebih mengetahui tentang kandungan al-Qur’an.
2) Umar sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi, Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits Nabi yang berasal dari riwayat Umar sekitar tiga ratus hadits.
3) Umar pernah merencanakan menghimpun hadits nabi secara tertulis. Umar meminta pertimbangan kepada para sahabat. Para sahabat menyetujuinya. Tetapi satu bulan umar memohon petunjuk kepada Allah dengan jalan melakukan shalat istikharah, akahirnya dia mengurungkan niatnya itu. Dia khawatir himpunan hadits itu akan memalingkan perhatian umat Islam dari al-Qur’an. Dalam hal ini, dia sama sekali tidak nenampakkan larangan terhadap periwayatan hadits. Niatnya menghimpun hadits diurungkan bukan karena alasan periwayatan hadits, melainkan karena faktor lain, yakni takut terganggu konsentrasi umat islam terhadap al-Qur’an.
Dari uraian di atas dapat dinyatakan, bahwa periwayatan hadits pada zaman Umar bin al-Khatthab telah lebih banyak dilakukan oleh umat Islam bila dibandingkan dengan zaman Abu Bakar. Dalam masa itu para periwayat hadits masih agak “terkekang” dalam melakukan periwayatan hadits, karena Umar melakukan pemeriksaan hadits yang cukup ketat kepada para periwayat hadits. Umar melakukan yang demikian bukan hanya bertujuan agar konsentrasi umat Islam tidak berpaling dari al-Qur’an, melainkan juga agar umat Islam tidak melakukan kekeliruan dalam periwayatan hadits. Kebijakan Umar yang demikian telah menghalangi orang-orang yang tidak bertanggung jawab melakukan pemalsuan-pemalsuan hadits.
c. Usman bin Affan
Secara umum, kebijakan ‘Usman tentang periwayatan hadits tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditempuh oleh kedua khalifah penduhulunya. Hanya saja, langkah ‘Usman tidaklah setegas langkah ‘Umar bin Khatthab.
‘Usman secara pribadi memang tidak banyak meriwayatkan hadits. Ahmad bin Hambal meriwayatkan hadits nabi yang berasal dari riwayat ‘Usman sekitar empat puluh hadits saja. Itupun banyak matan hadits yang terulang, karena perbedaan sanad. Matan hadits yang banyak terulang itu adalah hadits tentang berwudu’. Dengan demikian jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Usman tidak sebanyak jumlah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Umar bin Khatthab.
Dari uraian diatas dapat dinyatakan, bahwa pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab. Usman melalui khutbahnya telah menyampaikan kepada umat Islam berhati-hati dalam meriwayatkan hadits. Akan tetapi seruan itu tidak begitu besar pengaruhnya terhadap para perawi tertentu yang bersikap “longgar” dalam periwayatan hadits. Hal tersebut terjadi karena selain pribadi ‘Usman tidak sekeras pribadi ‘Umar, juga karena wilayah Islam telah makin luas. Luasnya wilayah Islam mengakibatkan bertambahnya kesuliatan pengendalian kegiatan periwayatan hadits secara ketat.
d. Ali bin Abi Thalib
Secara umum, Ali barulah bersedia menerima riwayat hadits Nabi setelah periwayat hadits yang bersangkutan mengucapkan sumpah, bahwa hadits yang disampaikannya itu benar-benar dari Nabi SAW. Dengan demikian dapat dinyatakan, bahwa fungsi sumpah dalam periwayatan hadits bagi ‘Ali tidaklah sebagai syarat mutlak keabsahan periwayatan hadits. Sumpah dianggap tidak perlu apabila orang yang menyampaikan riwayat hadits telah benar-benar tidak mungkin keliru.
‘Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan). Hadits yang berupa catatan, isinya berkisar tentang hukuman denda (diyat), pembahasan orang Islam yang ditawan oleh orang kafir, dan larangan melakukan hukum kisas (qishash) terhadap orang Islam yang membunuh orang kafir.[11]
Ahmad bin Hambal telah meriwayatkan hadits melalui riwayat ‘Ali bin Abi Thalib sebanyak lebih dari 780 hadits. Sebagian matan dari hadits tersebut berulang-ulang karena perbedaan sanad-nya. Dengan demikian, dalam Musnad Ahmad, Ali bin Abi Thalib merupakan periwayat hadits yang terbanyak bila dibandingkan dengan ke tiga khalifah pendahulunya.
Dilihat dari kebijaksanaan pemerintah, kehati-hatian dalam kegiatan periwayatan hadits pada zaman khalifah ‘Ali bin Abi Thalib sama dengan pada zaman sebelumnya. Akan tetapi situasi umat Islam pada zaman Ali telah berbeda dengan siatuasi pada zaman sebelumnya. Pada zaman Ali, tentang politik dikalangan umat Islam telah makin menajam. Peperangan antara kelompok pendukung Ali dengan pendukung Mu’awiyah telah terjadi. Hal ini membawa dampak negatif dalam bidang kegiatan periwayatan hadits. Kepentingan politik telah mendorong terjadinya pemalsuan hadits.[12]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa kebijaksanaan para khulafa al Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai berikut:
1) Seluruh khalifah sependapat tentang pentingnya sikap hati-hati dalam periwayatan hadits.
2) Larangan memperbanyak hadits, terutama yang ditekankan oleh khalifah ‘Umar, tujuan pokoknya ialah agar periwayat bersikap selektif dalam meriwayatakan hadits dan agar masyarakat tidak dipalingkan perhatiannya dari al-Qur’an.
3) Penghadiran saksi atau mengucapkan sumpah bagi periwayat hadits merupakan salah satu cara untuk meneliti riwayat hadits. Periwayat yang dinilai memiliki kredibilitas yang tinggi tidak dibebani kewajiban mengajukan saksi atau sumpah.
4) Masing-masing khalifah telah meriwayatkan hadits. Riwayat hadits yang disampaikan oleh ketiga khalifah yang pertama seluruhnya dalam bentuk lisan. Hanya ‘Ali yang meriwayatkan hadits secara tulisan disamping secara lisan.
Adapun penulisan hadits pada masa Khulafa al-Rasyidin masih tetap terbatas dan belum dilakukan secara resmi, walaupun pernah khalifah Umar bin Khattab mempunyai gagasan untuk membukukan hadits, namun niatan tersebut diurungkan setelah beliau melakukan shalat istikharah. Para sahabat tidak melakukan penulisan hadits secara resmi, karena pertimbang-pertimbangan:
1) Agar tidak memalingkan umat dari perhatian terhadap al-Qur’an. Perhatian sahabat masa khulafa al-Rasyidin adalah pada al-Qur’an seperti tampak pada urusan pengumpulan dan pembukuannya sehingga menjadi mushaf.
2) Para sahabat sudah menyebar sehingga terdapat kesulitan dalam menulis hadits.
3. Hadits pada Masa Tabi’in
Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadits . Hanya saja pada masa ini tidak terlalu berat seperti pada masa sahabat. Pada masa ini Al-Qur’an sudah terkumpul dalam satu mushaf dan sudah tidak menghawatirkan lagi. Selain itu, pada akhir masa Al-Khulafa Al-Rasyidin para sahabat ahli hadits telah menyebar ke beberapa wilayah sehingga mempermudah tabi’in untuk mempelajari hadits.
Para sahabat yang pindah ke daerah lain membawa perbendaharaan hadits sehingga hadits tersebar ke banyak daerah. Kemudian muncul sentra-sentra hadits sebagai berikut:[13]
a. Madinah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Aiyah dan Abu Hurairah.
b. Mekkah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Ibn ‘Abbas.
c. Kufah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Abd Allah Ibn Mas’ud.
d. Basrah, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti ‘Utbah Ibn Gahzwan.
e. Syam, dengan tokoh dari kalangan sahabat seperti Mu’ad Ibn Jabal.
f. Mesir, dengan tokoh dari kalangan sahabat ‘Abd Allah Ibn Amr Ibn Al-Ash.
Pada masa ini muncul kekeliruan dalam periwayatan hadits dan juga muncul hadits palsu. Faktor terjadinya kekeliruan pada masa setelah sahabat itu antara lain:[14]
a. Periwayat hadits adalah manusia maka tidak akan lepas dari kekeliruan
b. Terbatasnya penulisan dan kodifikasi hadits
c. Terjadinya periwayatan secara makna yang dilakukan oleh sahabat
Pemalsuan hadits dimulai sejak masa ‘Ali Ibn Abi Thalib, bukan karena masalah politik tetapi masalah lain. Menghadapi terjadinya pemalsuan hadits dan kekeliruan periwayatan maka para ulama mengambil langkah sebagai berikut:[15]
a. Melakukan seleksi dan koreksi oleh tentang nilai hadits atau para periwayatnya.
b. Hanya menerima hadits dari periwayat yang tsiqoh saja.
c. Melakukan penyaringan terhadap hadits dari rowi yang tsiqah.
d. Mensyaratkan tidak adanya penyimpangan periwayat yang tsiqoh pada periwayat yang lebih tsiqah.
e. Meneliti sanad untuk mengetahui hadits palsu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa hadist pada zaman Nabi Muhammad SAW dan para khulafa al Rasyidin tentang periwayatan hadits adalah sebagai beriku:
Hadits pada masa Nabi dikenal dengan „Ashr al-Wahy wa al-Takwin, yaitu masa turun wahyu dan pembentukan masyarakat Islam
Larangan menulis hadits pada masa Rasulullah SAW
- Rasulullah menjadi pusat naraumber, referensi, dan tumpuan pertanyaan ketika para sahabat menghadapi masalah.
- Menerima hadits adalah dengan menghafal
- Nabi melarang bagi umum karena khawatir bercampur antara hadits dan Al-Qur’an.
Diperbolehkannya Menulis Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
- Sabda Nabi Muhammad SAW “Tulislah, maka demi dzat yang aku berada dalam kekuasaannya tidaklah keluar dariku kecuali kebenaran”.
- izin penulisannya diberikan pada periode akhir kerasulan.
Orang yang pandai menulis tidak dilarang menulis hadits.
Hadis pada masa Periode sahabat disebut dengan “’Ashr al-Tatsabut wa al-Iqlal min al-riwayah” yaitu masa pemastian dan menyedikitkan riwayat.
- periwayatan hadits dikalangan umat Islam pada masa Khalifah Abu Bakar sangat terbatas.
- Larangan umar tampaknya tidak tertuju kepada periwayatan itu sendiri, tetapi dimaksudkan: [a] agar masyarakat lebih berhati-hati dalam periwayatan hadits, [b] agar perhatian masyarakat terhadap al-Qur’an tidak tergangu.
- pada zaman ‘Usman bin Affan, kegiatan umat Islam dalam periwayatan hadits tidak lebih banyak bila dibandingkan dengan kegiatan periwayatan pada zaman ‘Umar bin Khatthab.
- Ali bin Abi Thalib sendiri cukup banyak meriwayatkan hadits Nabi. Hadits yang diriwayatkannya selain dalam bentuk lisan, juga dalam bentuk tulisan (catatan).
Sebagaimana para sahabat para tabiin juga cukup berhati-hati dalam periwayatan hadit.
Menghadapi terjadinya pemalsuan hadits dan kekeliruan periwayatan.
DAFTAR PUSTAKA
Idri. 2013. Studi Hadis. Jakarta: Kencana.
Ismail, M. Syuhudi. 1995. Kaedah-Kaedah Keshahehan Sanad Hadits. Jakarta: Bulan Bintang.
Khon, Abdul Majid. 2012, Ulumul Hadis. Jakarta: Amzah.
Mangunsuwito. 2011. Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing. Jakarta: Widytama Pressindo.
Soetari, H. Endang. 1997. Ilmu Hadits. Bandung: Amal Bakti Press.
Qamariyah, N. 2018. Sejarah Perkembangan Hadis: Masa Prakodifikasi Hadis (Masa Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabi’in), Masa Kodifikasi hingga sekarang. (Online). Tersedia di: http://www.reseachgate.net/publication/3290917_SEJARAH_PERKEMBANGAN_HADIS (7 Januari 2021)
[1] Agus Solahudin, Ulumul Hadits (Bandung: Pustaka Setia, 2008), 33
[2] Mangunsuwito, Kamus Saku Ilmiah Populer Disertai dengan Istilah-istilah Aing (Jakarta: Widytama Pressindo, 2011), 298.
[3] Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana, 2010), 31
[4] Munzier Suparta, Ilmu Hadits (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 70-71
[5] Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana, 2013), 35
[6] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits (Jakarta: Amzah, 2012), 49
[7] Idri, Studi Hadits (Jakarta: Kencana, 2013), 36.
[8] Idri, Studi,..37-38.
[9] H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 42
[10] H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 46
[11] H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 48.
[12] H. Endang Soetari, Ilmu Hadits (Bandung: Amal Bakti Press, 1997), 49.
[13] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 44-45
[14] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 44-45
[15] Idri, Studi Hadis (Jakarta: Kencana, 2013), 44-45