Kamis, 27 Januari 2022
Rabu, 26 Januari 2022
MAKALAH IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ, DAN ITTIBA
IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ, ITTIBA’
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Mazhab
Dosen : Jahidin, S.Sy., ME
Disusun Oleh :
Reni Fitriawati
12513.6364
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SABILI BANDUNG
2021/2022
KATA PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu'alaikum, Wr. Wb.
Segala puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang selalu memberi kita nikmat islam dan iman, semoga hidayah-Nya tak henti-hentinya terlimpahkan terhadap saudara-saudara kita semua. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa terima kasih juga saya sampaikan pada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki, saya membuat makalah yang berjudul "Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’" ini demi memenuhi salah satu tugas dari dosen. Sebagai pemula, tentunya sangat mungkin terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini, karena itu saya meminta maaf yang sebesar-besarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca yang budiman.
Kiranya cukup demikian pengantar dari saya, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum, Wr. Wb.
Cipeundeuy, 14 Januari 2022
Reni Fitriawati
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................................3
A. Ijtihad.......................................................................................................................3
B.Taqlid........................................................................................................................5
C. Talfiq........................................................................................................................6
D. Ittiba’........................................................................................................................7
BAB III PENUTUP..............................................................................................................11
A. Kesimpulan............................................................................................................11
B. Saran......................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam yang mempunyai sumber hukum yaitu Alquran dan hadis. Selain sumber hukum yang pertama ini terdapat sumber hukum setelahnya yaitu ijma', qiyas, istihsan, istihsab, dan lain sebagainya. Dalam Alquran dan hadis di dalamnya sudah dijelaskan tentang aturan-aturan dalam agama Islam.
Alquran menjelaskan tentang hukum-hukum atau aturan dalam Islam tidak semuanya dijelaskan secara jelas maknanya. Maka dalam hal ini perlu adanya penjelasan atau penafsiran sehingga mudah dipahami. Kadang kala juga terdapat hukum tidak dapat ditemukan dari apa yang tersurat dalam firman Allah secara jelas namun dapat dipahami melalui pemahaman akan maksud sebuah lafal. Oleh karena itu, hukum tersebut "tersirat" dibalik lafal tersebut.
Hukum yang tersirat tetapi maknanya terdapat dibalik lafal yang tersurat ini tidak hanya satu tempat saja dalam Alquran. Contoh diantaranya tentang hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Alquran, namun dapat dipahami melalui pemahaman akan larangan berkata kasar kepada orang tua. Alasannya bahwa berkata kasar saja sudah dilarang apalagi memukul. Tetapi kata memukul sendiri tidak tersurat jelas dalam Al quran. [1]
Meskipun demikian harus yakin bahwa jawabannya dalam Alquran. Sehingga untuk mendapatkan pemahaman dan penjelasan tentang ayat tersebut perlu daya nalar yang maksimal. Sehingga para sahabat terdahulu sepakat melakukan penafsiran ataupun mencari makna tersurat dari tersirat. Sehingga dalam makalah ini akan menjelaskan tentang ijtihad, taklid, talfiq dan Ittiba' yang merupakan daya nalar dari penjelasan yang tersurat dalam Alquran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis akan merumuskan masala-masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
- Apa Yang Dimaksud Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’?
- Apa Dasar Hukum Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’?
- Bagaimana Penerapan Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’ Dalam Hukum Islam?
C. Tujuan
Adapun tujuan penelitian ini ialah sebagai berikut :
- Mengetahui Apa Yang Dimaksud Dengan Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’.
- Mengetahui Dasar Hukum Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’.
- Mengetahui Penerapan Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’ Dalam Hukum Islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ijtihad
1. Pengertian ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”, yang memiliki arti “al-masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus ayat 9 yang artinya: ..”dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain kesanggupan”.[2]
Pengertian ijtihad sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yakni pengertian ijtihad secara etimologi dan pengertian ijtihad secara terminologi.
Pengertian ijtihad secara etimologi ialah pengerahan segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Sedangkan pengertian ijtihad secara terminologi adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah syariah yang terkenal dengan maslahat.[3]
Kemudian Imam al-Amidi menjelaskan pengertian ijtihad yaitu mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun, pada perkembangan selanjutnya diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan para ahli agama Islam.
2. Dasar hukum ijtihad
Dasar hukum ijtihad dijelaskan dalam QS. An-Nisa : 105, yang berbunyi :
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah) karena (membela) orang-orang yang khianat”. (QS. An-Nisa’: 105).
Istinbath hukum ada beberapa dari al-qur’an dan juga hadits, diantaranya:
1) Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (Q.S.An-nisa:105)
“dan orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benarakan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 ).
2) Adanya keterangan sunnah yang membolehkan berijtihad diantaranya:
Rasulullah juga pernah bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut:
“Berhukumlah engkau dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya pada dua sumber itu, maka ijtihadlah”.
3. Penerapan Ijtihad Dalam Hukum Islam
a. Penerapan Ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam dipandang sebagai sumber hukum ketiga setelah Al Quran dan hadits. Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah untuk mendapatkan sebuah solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus di tetapkan hukumnya, akan tetapi tidak di temukan baik di Al-Quran atau hadits.
Oleh karena itu, dari segi fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam, ijtihad memiliki kedudukan dan legalitas dalam Islam. Walaupun dengan demikian, ijtihad tidak dapat di lakukan oleh sembarang orang artinya hanya orang-orang tertentu saja, yang memenuhi syarat khusus yang boleh berijtihad.
b. Tokoh-tokoh Ijtihad
- Imam Abu Hanifah
- Imam Malik
- Imam Syafi’i
- Imam Ahmad Ibn Hanbal
B. Taqlid
- Pengertian Taqlid
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata “Qallada”, yuqallidu’, “taglidan”, artinya meniru / menurut seseorang dan sejenisnya. Sedangkan terjemahan secara terminologi, terdapat beberapa istilah mengenai taqlid, antara lain:
a) Sebuah perilaku yang mengikuti orang lain baik dari segi lisan maupun perbuatannya tanpa keraguan sedikitpun dengan tidak adanya penelusuran lebih lanjut terhadap dalilnya terlebih dahulu.
b) Membenarkan sebuah gagasan orang lain secara bulat tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya dan tidak memafhumi kapasitas dari dalil-dalil tersebut.
c) Mengamalkan gagasan orang lain tanpa memahami dasar dalilnya.
Dari semua arti diatas, dapat di simpulkan bahwa taqlid adalah menerima atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur'an Hadis, Ijma' dan Qiyas.[4]
- Dasar Hukum Taqlid
Terdapat firman Allah yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid, berikut firman Allah dalam al-Qur'an:
وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ...
“...apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil amri)”. (QS. An-nisa : 83).
Sementara itu hanyalah seseorang yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang diperbolehkan melakukan istinbath (menetapkan kesimpulan).
- Penerapan Taqlid Dalam Hukum Islam
a. Penerapan Taqlid
Perbedaan pandangan para ulama dalam bertaqlid, ada yang menganggap bertaqlid itu tidak boleh diterapkan dalam hukum islam dalam bentuk apapun karena yang diwajibkan adalah berijtihad dan meneliti. Dengan demikian pada tiap orang mukallaf diwajibkan untuk berijtihad dengan kemampuan yang dimilikinya. Bertaqlid tidak dibolehkan bagi orang yang mampu berijtihad dan bertaqlid dibolehkan bagi orang yang tidak mampu berijtihad.[5]
b. Tokoh Taqlid
- Muhammad Bin Abdul Wahhab
- Syah Waliyullah
- Sultan Mahmud II
C. Talfiq
- Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Talfiq yaitu mendatangkan suatu cara (dalam ibadah ataupun muamalah) yang tidak pernah dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaqlid kepada mazhab-mazhab serta mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam suatu masalah, yang memiliki cabang-cabang sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan) yang tidak pernah dinyatakan oleh seorangpun (dari para imam mujtahid).[6]
Adapun Talfiq yang dimaksudkan dalam pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
اَلْعَمَلُ بِحُكْمِ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ أَوْ أَكْثَر
“Mengamalkan satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi'i dalam masalah iddah wanita yang ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat. Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.
Di samping itu, juga termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah, seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut mazhab Hanafi. Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena mengikuti mazhab Maliki misalnya.
- Dasar Hukum Talfiq
Para ulama berpendapat dibolehkannya talfiq. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam surah Al-baqarah ayat 185, yang berbunyi:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-baqarah : 185).
Walaupun demikian, ayat ini bukan harus dijadikan suatu acuan agar kita selalu mengambil hal-hal yang mudah dalam agama. Sehingga kita bermain-main dalam menjalankan perintah Allah.
- Penerapan Talfiq Dalam Hukum Islam
a. Penerapan Talfiq
Sebagian ulama berpendapat bahwa agama Allah itu tidak sulit, dan talfiq termasuk kedalam kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam) dalam menjalani ibadah dalam hukum islam. Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang menjurus kepada penghalalan perkara-perkara yang dilarang.[7]
b. Tokoh-tokoh Talfiq
- Ibnu Abidin
- Syaikh Ath Thursusi
- Alamah Abu As Su’ud
- Ibnu Nujaim
D. Ittiba’
- Pengertian Ittiba’
Kata Ittibba' berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata “Ittaba'a, Yattbi'u Ittiba'an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut. Ittiba' yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima perkataan seseorang dengan dalil yang lebih kuat.
Jika digabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita simpulkan bahwa, ittiba' adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat dengan jalan membanding.
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba' diartikan mengikuti pendapat orang lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti. [8]
- Dasar hukum ittiba’
Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menaati dan mengikuti perintah Rasulullah SAW. Allah juga memperingatkan mereka dari sikap menyelisihi beliau, durhaka kepada beliau, dan tidak menaati beliau.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah mewajibkan kepada manusia untuk ittiba’ (mengikuti) wahyu-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS. Al-Baqarah: 129).
Maka Allah menyebutkan Al-Kitab, yaitu Al-Quran. Dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Dan aku mendengar di antara ulama yang memahami Al-Quran mengatakan, Al-Hikmah adalah Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bahwa Allah mewajibkan kepada manusia untuk menaati Rasul-Nya dan mengikuti perintahnya. Maka tidak boleh dikatakan wajib kecuali karena (adanya dasar dari) Kitab Allah kemudian Sunnah Rasulullah SAW.”
Allah juga berfirman,
مَّن يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80).
- Penerapan Ittiba’ Dalam Hukum Islam
a. Penerapan Ittiba’
Ittiba’sangat diterapkan dalam hukum islam dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, karena ittiba’ adalah bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, serta menjadi sifat ulama yang shalih. Seorang muttabi tidak perlu memenuhi syarat tertentu untuk berittibe’. Jika seseorang tidak sanggup memecahkan persoalan agama, ia wajib bertanya kepada orang lain seperti mujtahid atau orang yang paham ajaran agama.
Dengan demikian, diharapkan bahwa setiap muslim dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh keyakinan, sekalipun mereka awam. Karena, suatu ibadah yang dilakukan dengan penuh keyakinan akan menimbulkan kekhusyuan dan keikhlasan.
b. Tokoh-tokoh Ittiba’
- Abu Bakar As syidiq
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita harus bermadzhab karena dengan kita bermadzhab akan memudahkan kita dalam mendekatkan diri kepada Allah dan bermu’amalah dengan manusia. Selain itu bermadzhab merupakan sarana untuk mempelajari syari’at Islam yang disimpulkan dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah secara terstruktur dan sistematis. Oleh karena itu, manakala suatu pendapat madzhab jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka kita wajib meninggalkannya. Karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Allah dan Rasul-Nya.
Kita diharuskan untuk mengikuti madzhab yang pendapatnya lebih mendekati kepada kebenaran bukan taklid terhadap satu madzhab saja dan tidak mau mengambil pendapat yang lain. Karena setiap madzhab memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kita mengambil pendapat mereka yang lebih mendekati kebenaran.
Dalam mengatasi problematika kehidupan yang semakin berkembang maka diperlukannya ijtihad untuk menemukan solusi dalam permasalahan-permasalahan kehidupan. Dengan cara yang benar, berpedoman pada Al-Quran, sunnah Nabi, ijma, dan juga qiyas.
Di dalam pengambilan keputusan untuk menemukan jawaban permasalahan maka perlu menggunakan ilmu dan landasan yang tepat, oleh sebab itu dilarang berbuat taklid, semata-mata ingin menetapkan suatu hukum, karena taklid itu tidak diperbolehkan. Jangan pula ikut-ikutan tanpa mengetahui hukum yang pasti dan alasan hukum tersebut. Maka perlu hati-hati dalam berbuat apalagi persoalan hukum agama.
Apabila dalam menjumpai permasalahan dalam kehidupan maka bolehlah ber-ittiba’ yang kemudian tidak menutup kemungkinan akan terjadi perbuatan talfiq. Namun dalam hal ini tidak lepas dengan yang namanya mengetahui dan memahami hukum yang pasti.
B. Saran
Demikian makalah yang saya buat, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Mohon maaf apabila banyak kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas dan dimengerti. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan saya juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang budiman untuk kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Harrani. Majmu’ah al- Fatwa.vol 10.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2006. Syama’il al-Musthafa. Beirut: Dar al – Fikr.
Amir syarif, ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 237.
Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana, 2000), hlm. 227.
Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana, 2000), hlm. 230.
A. Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua” vol. 8No. 2, juli-desember2015.1.
A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.
Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua). Jakarta: Kencana.
Ibid, hlm. 246.
Ibid, hlm. 232
Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
Rifa’i,Mohammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2. Jakarta : Kencana, 2008.
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat
Khutbah Jum'at",Januari 2006.
Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri. 2008. Fikih Kita di Masyarakat. Pasuruan:
Pustaka Sidogiri Pon.Pes Sidogiri.
https://kopiprestasipelajar.blogspot.com/2018/11/ijtihad-taqlid-talfiq-ittiba.html?m=1
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
https://wikimuslim.or.id/ittiba/
[1] Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
[2] Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
[3] http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
[4] A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.
[5] Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
[6] http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
[7] http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
[8] https://wikimuslim.or.id/ittiba/