IJTIHAD, TAQLID, TALFIQ, ITTIBA’
Untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah Perbandingan Mazhab
Dosen
: Jahidin, S.Sy., ME
Disusun
Oleh :
Reni
Fitriawati
12513.6364
PROGRAM
STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM (STAI)
SABILI
BANDUNG
2021/2022
KATA
PENGANTAR
Bismillahirahmanirrahim
Assalamu'alaikum,
Wr.
Wb.
Segala puji syukur saya panjatkan
kepada Allah SWT yang selalu memberi kita nikmat islam dan iman, semoga
hidayah-Nya tak henti-hentinya terlimpahkan terhadap saudara-saudara kita
semua. Shalawat serta salam semoga
senantiasa tercurah pada Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa terima kasih juga saya sampaikan
pada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini. Dengan segala keterbatasan yang saya miliki,
saya membuat makalah yang berjudul "Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’" ini demi memenuhi
salah satu tugas dari dosen. Sebagai pemula, tentunya sangat mungkin terdapat
banyak kekurangan dalam makalah ini, karena itu saya meminta maaf yang
sebesar-besarnya dan sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca
yang budiman.
Kiranya cukup demikian
pengantar dari saya, atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih.
Wassalamu'alaikum, Wr.
Wb.
Cipeundeuy,
14 Januari
2022
Reni Fitriawati
KATA
PENGANTAR..............................................................................................................i
DAFTAR
ISI...........................................................................................................................ii
BAB
I
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah.........................................................................................1
B. Rumusan
Masalah..................................................................................................1
C. Tujuan......................................................................................................................2
BAB
II
PEMBAHASAN.........................................................................................................3
A. Ijtihad.......................................................................................................................3
B.Taqlid........................................................................................................................5
C. Talfiq........................................................................................................................6
D.
Ittiba’........................................................................................................................7
BAB
III
PENUTUP..............................................................................................................11
A.
Kesimpulan............................................................................................................11
B.
Saran......................................................................................................................11
DAFTAR
PUSTAKA............................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Agama Islam yang mempunyai sumber hukum yaitu Alquran
dan hadis. Selain sumber hukum yang pertama ini terdapat sumber hukum
setelahnya yaitu ijma', qiyas, istihsan, istihsab, dan lain sebagainya. Dalam
Alquran dan hadis di dalamnya sudah dijelaskan tentang aturan-aturan dalam
agama Islam.
Alquran menjelaskan tentang hukum-hukum atau aturan
dalam Islam tidak semuanya dijelaskan secara jelas maknanya. Maka dalam hal ini
perlu adanya penjelasan atau penafsiran
sehingga mudah dipahami. Kadang kala juga terdapat hukum tidak dapat ditemukan
dari apa yang tersurat dalam firman Allah
secara jelas namun dapat
dipahami melalui pemahaman akan maksud sebuah lafal. Oleh karena itu, hukum
tersebut "tersirat" dibalik lafal tersebut.
Hukum yang tersirat tetapi maknanya terdapat dibalik
lafal yang tersurat ini tidak hanya satu tempat saja dalam Alquran. Contoh
diantaranya tentang hukum memukul orang tua tidak terdapat dalam Alquran, namun
dapat dipahami melalui pemahaman akan larangan berkata kasar kepada orang tua.
Alasannya bahwa berkata kasar saja sudah dilarang apalagi memukul. Tetapi kata
memukul sendiri tidak tersurat jelas dalam Al quran.
Meskipun demikian harus yakin bahwa jawabannya dalam
Alquran. Sehingga untuk mendapatkan pemahaman dan penjelasan tentang ayat
tersebut perlu daya nalar yang maksimal. Sehingga para sahabat terdahulu
sepakat melakukan penafsiran ataupun mencari makna tersurat dari tersirat.
Sehingga dalam makalah ini akan menjelaskan tentang ijtihad, taklid, talfiq dan
Ittiba' yang merupakan daya nalar dari penjelasan yang tersurat dalam Alquran.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar
belakang masalah di atas, maka penulis akan merumuskan masala-masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini sebagai berikut:
- Apa Yang Dimaksud Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’?
- Apa Dasar Hukum Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’?
- Bagaimana Penerapan Ijtihad, Taqlid, Talfiq, Ittiba’
Dalam Hukum Islam?
C.
Tujuan
Adapun tujuan penelitian
ini ialah sebagai berikut :
- Mengetahui Apa Yang Dimaksud Dengan Ijtihad, Taqlid,
Talfiq, Ittiba’.
- Mengetahui Dasar Hukum Ijtihad, Taqlid, Talfiq,
Ittiba’.
- Mengetahui Penerapan Ijtihad, Taqlid, Talfiq,
Ittiba’ Dalam Hukum Islam.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Ijtihad
1.
Pengertian ijtihad
Kata ijtihad berasal dari kata “al-jahd” atau “al-juhd”, yang memiliki arti
“al-masyoqot” (kesulitan atau kesusahan) dan “athoqot” (kesanggupan dan
kemampuan) atas dasar pada firman Allah Swt dalam QS. Yunus
ayat 9 yang artinya: ..”dan (mencela) orang yang tidak memperoleh (sesuatu
untuk disedekahkan) selain kesanggupan”.
Pengertian ijtihad
sendiri dapat dilihat dari dua sisi, yakni pengertian ijtihad secara etimologi
dan pengertian ijtihad secara terminologi.
Pengertian ijtihad secara
etimologi ialah pengerahan
segala kemampuan untuk mengerjakan sesuatu yang sulit. Sedangkan pengertian
ijtihad secara terminologi adalah penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan
sesuatu yang terdekat pada kitabullah (syara) dan sunnah rasul atau yang lainnya
untuk memperoleh nash yang ma’qu; agar maksud dan tujuan umum dari hikmah
syariah yang terkenal dengan maslahat.
Kemudian Imam al-Amidi menjelaskan pengertian ijtihad yaitu mencurahkan
semua kemampuan untuk mencari hukum syara yang bersifat dhanni, sampai merasa
dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu.
Ijtihad adalah sebuah usaha yang sungguh-sungguh, yang sebenarnya bisa
dilaksanakan oleh siapa saja yang sudah berusaha mencari ilmu untuk memutuskan
suatu perkara yang tidak dibahas dalam Al Quran maupun hadis dengan syarat
menggunakan akal sehat dan pertimbangan matang. Namun, pada
perkembangan selanjutnya diputuskan bahwa ijtihad sebaiknya hanya dilakukan
para ahli agama Islam.
2. Dasar hukum ijtihad
Dasar hukum ijtihad dijelaskan dalam QS. An-Nisa : 105, yang berbunyi :
“Sesungguhnya kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah
Allah wahyukan kepadamu dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah)
karena (membela) orang-orang yang khianat”. (QS. An-Nisa’: 105).
Istinbath
hukum ada beberapa dari al-qur’an dan juga hadits,
diantaranya:
1) Firman Allah SWT:
“Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili
antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu” (Q.S.An-nisa:105)
“dan
orang-orang yang berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami, benar-benarakan
Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang
berbuat baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 ).
2) Adanya keterangan
sunnah yang membolehkan berijtihad diantaranya:
Rasulullah juga pernah
bersabda kepada Abdullah bin Mas’ud sebagai berikut:
“Berhukumlah
engkau dengan al-Qur’an dan as-Sunnah, apabila sesuatu persoalan itu engkau temukan pada dua sumber
tersebut. Tapi apabila engkau tidak menemukannya
pada dua sumber itu, maka ijtihadlah”.
3. Penerapan Ijtihad Dalam Hukum Islam
a.
Penerapan Ijtihad
Ijtihad sebagai sumber hukum Islam dipandang sebagai sumber hukum ketiga
setelah Al Quran dan hadits. Fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam adalah
untuk mendapatkan sebuah solusi hukum jika ada suatu masalah yang harus di
tetapkan hukumnya, akan tetapi tidak di temukan baik di Al-Quran atau hadits.
Oleh karena itu, dari
segi fungsi ijtihad sebagai sumber hukum Islam,
ijtihad memiliki kedudukan dan legalitas dalam Islam. Walaupun dengan demikian,
ijtihad tidak dapat di lakukan oleh sembarang orang artinya hanya orang-orang
tertentu saja, yang memenuhi syarat khusus yang boleh berijtihad.
b.
Tokoh-tokoh Ijtihad
-
Imam Abu Hanifah
-
Imam Malik
-
Imam Syafi’i
-
Imam Ahmad Ibn Hanbal
B. Taqlid
- Pengertian Taqlid
Kata taklid berasal dari bahasa Arab yakni kata
“Qallada”, yuqallidu’, “taglidan”, artinya meniru / menurut seseorang dan sejenisnya. Sedangkan terjemahan secara terminologi,
terdapat beberapa istilah mengenai taqlid, antara lain:
a)
Sebuah perilaku
yang mengikuti orang lain baik dari segi lisan maupun perbuatannya tanpa
keraguan sedikitpun dengan tidak adanya penelusuran lebih lanjut terhadap
dalilnya terlebih dahulu.
b)
Membenarkan sebuah
gagasan orang lain secara bulat tanpa disaring menggunakan dalil-dalilnya dan
tidak memafhumi kapasitas dari dalil-dalil tersebut.
c)
Mengamalkan
gagasan orang lain tanpa memahami dasar dalilnya.
Dari semua arti diatas, dapat di simpulkan bahwa taqlid adalah menerima
atau mengambil perkataan orang lain yang tidak beralasan dari Al-Qur'an Hadis,
Ijma' dan Qiyas.
- Dasar Hukum Taqlid
Terdapat firman Allah
yang mengharuskan seseorang untuk bertaqlid kepada seorang mujtahid, berikut
firman Allah dalam al-Qur'an:
وَلَوْ
رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَىٰ أُولِي الْأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ
الَّذِينَ يَسْتَنْبِطُونَهُ...
“...apabila mereka menyerahkannya kepada Rasul dan Ulil
amri diantara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya
(akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan Ulil amri)”.
(QS. An-nisa : 83).
Sementara itu hanyalah seseorang
yang memiliki kompetensi dalam berijtihad saja yang diperbolehkan melakukan
istinbath (menetapkan kesimpulan).
- Penerapan
Taqlid Dalam Hukum Islam
a.
Penerapan Taqlid
Perbedaan pandangan
para ulama dalam bertaqlid, ada yang menganggap bertaqlid itu tidak boleh
diterapkan dalam hukum islam dalam bentuk apapun karena yang diwajibkan adalah
berijtihad dan meneliti. Dengan demikian pada tiap orang mukallaf diwajibkan
untuk berijtihad dengan kemampuan yang dimilikinya. Bertaqlid tidak dibolehkan
bagi orang yang mampu berijtihad dan bertaqlid dibolehkan bagi orang yang tidak
mampu berijtihad.
b.
Tokoh Taqlid
-
Muhammad Bin Abdul Wahhab
-
Syah Waliyullah
-
Sultan Mahmud II
C. Talfiq
- Pengertian Talfiq
Talfiq menurut bahasa
adalah menutup, menambal, tak dapat mencapai dan lain sebagainya. Talfiq yaitu
mendatangkan suatu cara (dalam ibadah ataupun muamalah) yang tidak pernah
dinyatakan oleh ulama mujtahid. Maksudnya, bertaqlid kepada mazhab-mazhab serta
mengambil (menggabungkan) dua pendapat atau lebih dalam suatu masalah, yang
memiliki cabang-cabang sehingga memunculkan suatu perkara gabungan (rakitan)
yang tidak pernah dinyatakan oleh seorangpun (dari para imam mujtahid).
Adapun Talfiq yang dimaksudkan dalam
pembahasan ilmu ushul fiqh adalah:
اَلْعَمَلُ
بِحُكْمِ مُؤَلَّفٍ بَيْنَ مَذْهَبَيْنِ أَوْ أَكْثَر
“Mengamalkan
satu hukum yang terdiri dari dua mazhab atau lebih.”
Maksudnya adalah
seperti seseorang mengikuti pendapat Syafi'i dalam masalah iddah wanita yang
ditalak, karena balasannya lebih kuat dari mazhab lain umpamanya. Sedang
dalam hal tidak adanya wali mujbir dalam
perkawinan, ia mengikut pendapat hanafi, karena merasa alasannya lebih kuat.
Yang demikian dinamakan Talfiq dalam masalah yang berlainan.
Di samping itu, juga
termasuk dalam ketegori talfiq, seseorang ber-talfiq dalam satu masalah,
seperti dalam masalah wudhu. Seseorang tidak melafazkan niat, karena mengikut
mazhab Hanafi.
Tapi dalam hal mengusap kepala ketika wudhu cukup sebagian kepala saja, karena
mengikuti mazhab Maliki misalnya.
- Dasar Hukum Talfiq
Para ulama
berpendapat dibolehkannya talfiq. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam
surah Al-baqarah ayat 185, yang berbunyi:
“Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (QS. Al-baqarah :
185).
Walaupun demikian,
ayat ini bukan harus dijadikan suatu acuan agar kita selalu mengambil hal-hal
yang mudah dalam agama. Sehingga kita bermain-main dalam menjalankan perintah
Allah.
- Penerapan Talfiq Dalam Hukum Islam
a. Penerapan Talfiq
Sebagian ulama
berpendapat bahwa agama Allah itu tidak sulit, dan talfiq termasuk kedalam
kategori memudahkan manusia (khususnya orang-orang awam) dalam menjalani ibadah
dalam hukum islam. Kebolehan melakukan talfiq ini tidak bersifat mutlak, tetapi
terbatas dalam ruang lingkup tertentu. Karena ada bentuk talfiq yang menjurus
kepada penghalalan perkara-perkara yang dilarang.
b. Tokoh-tokoh Talfiq
-
Ibnu Abidin
-
Syaikh Ath Thursusi
-
Alamah Abu As Su’ud
-
Ibnu Nujaim
D. Ittiba’
- Pengertian Ittiba’
Kata Ittibba' berasal dari bahasa Arab, yakni dari kata
“Ittaba'a, Yattbi'u Ittiba'an”, yang artinya adalah mengikut atau menurut. Ittiba'
yang dimaksud di sini adalah:
قَبُوْلُ
قَوْلِ اْلقَائِلِ وَأَنْتَ تَعْلَمُ مِنْ أَيْنَ قَالَهُ .
“Menerima
perkataan orang lain yang berkata, dan kamu mengetahui alasan perkataannya.”
Di
samping ada juga yang memberi definisi :
قَبُوْلُ
قَوْلِ اْلقَائِلِ بِدَلِيْلٍ رَاجِحٍ .
“menerima perkataan seseorang dengan dalil
yang lebih kuat.
Jika digabungkan definisi-definisi di atas, dapat kita
simpulkan bahwa, ittiba' adalah mengambil atau menerima perkataan seorang fakih
atau mujtahid, dengan mengetahui alasannya serta tidak terikat pada salah satu
mazhab dalam mengambil suatu hukum berdasarkan alasan yang dianggap lebih kuat
dengan jalan membanding.
Kalangan ushuliyyin mengemukakan bahwa ittiba’ adalah
mengikuti atau menerima semua yang diperintahkan atau dilarang atau dibenarkan
oleh Rasulullah. Dalam versi lain, ittiba' diartikan mengikuti pendapat orang
lain dengan mengetahui argumentasi pendapat yang diikuti.
- Dasar hukum ittiba’
Allah telah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya untuk menaati dan mengikuti perintah
Rasulullah SAW. Allah juga memperingatkan mereka dari
sikap menyelisihi beliau, durhaka kepada beliau, dan tidak menaati beliau.
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Allah mewajibkan kepada manusia
untuk ittiba’ (mengikuti) wahyu-Nya dan sunnah Rasul-Nya. Allah berfirman:
رَبَّنَا
وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ
وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ إِنَّكَ أَنتَ
الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seorang Rasul dari
kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan
kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan
mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana”. (QS.
Al-Baqarah: 129).
Maka Allah menyebutkan
Al-Kitab, yaitu Al-Quran. Dan Allah juga menyebutkan Al-Hikmah. Dan aku
mendengar di antara ulama yang memahami Al-Quran mengatakan, Al-Hikmah adalah
Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan bahwa Allah mewajibkan
kepada manusia untuk menaati Rasul-Nya dan mengikuti perintahnya. Maka tidak
boleh dikatakan wajib kecuali karena (adanya dasar dari) Kitab Allah kemudian
Sunnah Rasulullah SAW.”
Allah juga berfirman,
مَّن
يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ وَمَن تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ
عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“Barangsiapa
yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah. Dan barangsiapa
yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi
pemelihara bagi mereka.” (QS. An-Nisa: 80).
- Penerapan Ittiba’ Dalam Hukum Islam
a.
Penerapan Ittiba’
Ittiba’sangat
diterapkan dalam hukum islam dan mempunyai kedudukan yang sangat tinggi, karena
ittiba’ adalah bukti kebenaran cinta seseorang kepada Allah SWT dan Rasul-Nya,
serta menjadi sifat ulama yang shalih. Seorang muttabi tidak perlu memenuhi
syarat tertentu untuk berittibe’. Jika seseorang tidak sanggup memecahkan
persoalan agama, ia wajib bertanya kepada orang lain seperti mujtahid atau
orang yang paham ajaran agama.
Dengan demikian,
diharapkan bahwa setiap muslim dapat mengamalkan ajaran islam dengan penuh
keyakinan, sekalipun mereka awam. Karena, suatu ibadah yang dilakukan dengan
penuh keyakinan akan menimbulkan kekhusyuan dan keikhlasan.
b.
Tokoh-tokoh Ittiba’
-
Abu Bakar As syidiq
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kita harus bermadzhab karena dengan kita bermadzhab
akan memudahkan kita dalam mendekatkan diri kepada Allah dan bermu’amalah
dengan manusia. Selain itu bermadzhab merupakan sarana untuk mempelajari
syari’at Islam yang disimpulkan dari dalil Al-Qur’an dan Sunnah secara
terstruktur dan sistematis. Oleh karena itu, manakala suatu pendapat madzhab
jelas bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah maka kita wajib
meninggalkannya. Karena kita hanya diperintahkan untuk mengikuti Allah dan
Rasul-Nya.
Kita diharuskan untuk
mengikuti madzhab yang pendapatnya lebih mendekati kepada kebenaran bukan
taklid terhadap satu madzhab saja dan tidak mau mengambil pendapat yang lain. Karena
setiap madzhab memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kita mengambil
pendapat mereka yang lebih mendekati kebenaran.
Dalam mengatasi
problematika kehidupan yang semakin berkembang maka diperlukannya ijtihad untuk
menemukan solusi dalam permasalahan-permasalahan kehidupan. Dengan
cara yang benar, berpedoman pada Al-Quran, sunnah Nabi, ijma, dan juga qiyas.
Di dalam pengambilan keputusan untuk menemukan jawaban
permasalahan maka perlu menggunakan ilmu dan landasan yang tepat, oleh sebab
itu dilarang berbuat taklid, semata-mata ingin menetapkan suatu hukum, karena
taklid itu tidak diperbolehkan. Jangan pula ikut-ikutan tanpa mengetahui hukum
yang pasti dan alasan hukum tersebut. Maka perlu hati-hati dalam berbuat
apalagi persoalan hukum agama.
Apabila dalam menjumpai permasalahan dalam kehidupan
maka bolehlah ber-ittiba’ yang kemudian tidak menutup kemungkinan akan terjadi
perbuatan talfiq. Namun dalam hal ini tidak lepas dengan yang namanya
mengetahui dan memahami hukum yang pasti.
B. Saran
Demikian makalah yang
saya buat, semoga bermanfaat dan menambah pengetahuan para pembaca. Mohon maaf
apabila banyak kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas dan
dimengerti. Kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan saya
juga sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang budiman untuk
kesempurnaan makalah ini. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Al – Harrani. Majmu’ah al- Fatwa.vol 10.
Al-Zuhaili, Wahbah. 2006. Syama’il al-Musthafa.
Beirut: Dar al – Fikr.
Amir syarif, ushul fiqh, (Jakarta: Kencana, 2011),
hlm. 237.
Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana,
2000), hlm. 227.
Amir syarifudin, ushul fiqh, (Jakarta: Logos Wacana,
2000), hlm. 230.
A. Basiq Djalil, “Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua” vol.
8No. 2, juli-desember2015.1.
A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.
Djalil,Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih (satu & dua).
Jakarta: Kencana.
Ibid, hlm. 246.
Ibid, hlm. 232
Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan
talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
Rifa’i,Mohammad. 1973. Ushul Fiqih. Bandung: PT
Alma’arif.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqih 2. Jakarta : Kencana,
2008.
Syarifuddin, Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh.
Jakarta : Kencana.
Tim Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid. "Hukum
Taqlid, Doa Iftitah dan Shalawat
Khutbah
Jum'at",Januari 2006.
Tim Penulis Buku Taklimiyah Pon.Pes Sidogiri. 2008.
Fikih Kita di Masyarakat. Pasuruan:
Pustaka Sidogiri Pon.Pes
Sidogiri.
https://kopiprestasipelajar.blogspot.com/2018/11/ijtihad-taqlid-talfiq-ittiba.html?m=1
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
https://wikimuslim.or.id/ittiba/
Syarifuddin,
Amir. 2010. Garis-Garis Besar Ushul Fiqh. Jakarta : Kencana.
Mudrik Al Farizi, "Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014,
hlm 6.
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
A. Hassan. Ijma’, Qiyas, Mazhab, Taqlid.
Mudrik Al Farizi,
"Ijtihad, taqlid dan talfiq". Vol. 8 No 1, 2014, hlm 6.
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1
http://pikirdandzikir.blogspot.com/2018/02/taqlid-ittiba-talfiq-dan-ijtihad-dalam.html?m=1